www.beritacepat.id – Aktivis Palestina, Mahmoud Khalil, baru saja mengajukan gugatan sebesar 20 juta dolar AS kepada pemerintahan Presiden Amerika Serikat. Tuntutan ini muncul setelah Khalil hampir dideportasi oleh pemerintah AS karena keterlibatannya dalam protes di Columbia University.
Setelah dibebaskan dari pusat detensi Imigrasi dan Bea Cukai, Khalil menuduh pemerintah melakukan penahanan ilegal dan pencemaran nama baik, serta menuduhnya sebagai antisemit.
Gugatan ini merupakan langkah awal yang ditempuh sebelum dia mengajukan tuntutan resmi di bawah Federal Tort Claims Act. Khalil menargetkan Departemen Keamanan Dalam Negeri, ICE, dan Departemen Luar Negeri melalui gugatan ini.
Langkah Hukum yang Diambil oleh Mahmoud Khalil
Khalil, yang baru saja menyelesaikan studinya di Columbia University, menyatakan bahwa tuntutannya bukan semata untuk mendapatkan kompensasi. Ia ingin menyampaikan pesan bahwa penyalahgunaan kekuasaan tidak bisa dibiarkan tanpa akuntabilitas.
Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan keprihatinannya bahwa jika tidak ada konsekuensi, tindakan serupa akan terus berlanjut. Ia berharap langkah ini dapat menjadi contoh bagi orang lain yang mengalami hal serupa.
Khalil juga menjelaskan bahwa jika gugatan ini berhasil, ia berencana untuk membagikan uang kompensasi kepada mereka yang menjadi korban kebijakan pemerintah tersebut. Ia siap memperjuangkan hak-hak individu yang merasa terancam oleh tindakan pemerintah.
Penangkapan dan Kondisi di Penjara
Penangkapan Khalil terjadi pada malam 8 Maret saat ia pulang dari makan malam bersama istrinya. Dalam gugatannya, ia menyampaikan bahwa ia ditangkap oleh agen federal tanpa surat perintah dan tidak diberitahu tentang alasannya.
Setelah ditangkap, Khalil di bawa ke pusat detensi di Louisiana, yang dianggapnya sebagai lokasi yang sengaja dirahasiakan dari keluarganya. Selama di tahanan, ia melaporkan kondisi yang sangat buruk, termasuk tidak mendapat obat untuk penyakitnya dan makanan yang tidak layak.
Berat badannya turun drastis selama di penjara, akibat makanan yang buruk dan kurangnya perhatian medis. Khalil juga menceritakan bagaimana ia tidak pernah merasakan kenyang selama masa penahanannya.
Pendapat Resmi Mengenai Tuntutan Khalil
Sementara itu, juru bicara Departemen Keamanan Dalam Negeri menganggap klaim Khalil sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Mereka menuduhnya menyebarkan retorika kebencian yang dapat membahayakan komunitas tertentu.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa tindakan yang diambil terhadap Khalil sepenuhnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Respon dari Gedung Putih dan ICE hingga kini masih belum diterima publik.
Meski dalam keadaan bebas, Khalil kini menghadapi tuduhan baru terkait pengajuan green card-nya. Kuasa hukumnya menyebutkan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar dan bermotif balas dendam, serta meminta hakim untuk mencabutnya.
Reaksi dan Dampak dari Kasus Khalil
Tuntutan Khalil menciptakan gelombang reaksi di berbagai kalangan, mulai dari akademisi hingga aktivis sosial. Banyak yang melihat kasus ini sebagai contoh ketidakadilan yang dialami oleh aktivis pro-Palestina di Amerika Serikat.
Khalil, selama masa penahanannya, menjadi sosok yang cukup dikenal di antara tahanan lain. Ia berinisiatif membuka “jam kantor” untuk membantu tahanan lain dalam mengurus dokumen dan mencari penerjemah.
Pengalamannya dalam bekerja di Kedutaan Inggris di Beirut membantu dirinya berkontribusi meskipun dalam situasi sulit. Kegiatan saling berbagi cerita dan bermain kartu pun menjadi cara bagi mereka untuk mengatasi tekanan selama di penjara.
Setelah 104 hari dalam penahanan, hakim federal akhirnya memutuskan untuk membebaskan Khalil. Menurutnya, tindakan pemerintah untuk mendeportasi Khalil dengan alasan kebijakan luar negeri bertentangan dengan prinsip hukum yang lebih tinggi.
Namun, tantangan baru masih menghantui Khalil, dan upaya hukumnya untuk mengatasi masalah ini baru saja dimulai. Reaksinya terhadap situasi ini menunjukkan betapa pentingnya perjuangan hak asasi manusia dalam konteks kebijakan imigrasi yang ketat.