Pihak berwenang kesehatan di Gaza mengungkapkan bahwa dalam rentang waktu 24 jam terakhir, tidak kurang dari 153 nyawa warga Palestina merenggang akibat serangan udara yang intensif oleh militer. Serangan ini menandai eskalasi kekerasan yang semakin mencolok di wilayah ini. Munir al-Bursh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan setempat, menegaskan tingginya jumlah korban yang jatuh akibat tindakan agresi tersebut.
Serangan udara ini diketahui semakin meningkat sejak larut malam, dengan pesawat tempur Israel meluncurkan berbagai serangan yang menargetkan infrastruktur sipil dan warga sipil. Pihak kesehatan setempat menggambarkan situasi ini sebagai bentuk pembersihan etnis dan genosida yang mengerikan terhadap warga Palestina. Dalam pandangan direktur kesehatan Gaza ini, tindakan militer tidak hanya mengancam jiwa, tetapi juga menggusurkan rasa kemanusiaan yang mendalam.
Salah satu insiden terbaru yang mencolok adalah serangan terhadap Rumah Sakit Indonesia yang terletak di Jabalia, utara Gaza. Marwan Sultan, selaku direktur rumah sakit tersebut, melaporkan bahwa fasilitas medis ini berada dalam kesulitan yang kian parah. Pesawat tanpa awak Israel tidak hanya mengepung rumah sakit, tetapi juga menembaki setiap gerak-gerik yang terlihat di area sekitar, meningkatkan risiko bagi pasien dan staf medis yang beroperasi di situ. Ia mencatat bahwa ada pasien yang terluka akibat tembakan di sekitar rumah sakit tersebut.
Lebih lanjut, serangan darat juga mempengaruhi Rumah Sakit Al-Awda yang terletak tidak jauh dari lokasi tersebut. Menurut penjelasan Mohammed Salha, Direktur Rumah Sakit Al-Awda, serangan udara yang menargetkan sepuluh rumah di sekitar fasilitas kesehatan telah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada infrastruktur rumah sakit. Salha juga mengungkapkan keprihatinan tentang kelangkaan pasokan medis yang sudah tidak diterima selama lebih dari 80 hari terakhir. Di samping itu, pasokan bahan bakar untuk menjalankan fasilitas rumah sakit sudah terhenti lebih dari 35 hari, membuat operasional rumah sakit semakin sulit.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan peringatan dari Pertahanan Sipil Gaza yang mengindikasikan bahwa kendaraan mereka akan terpaksa berhenti beroperasi dalam waktu dekat akibat kehabisan bahan bakar. Mereka menyatakan bahwa tim kemanusiaan tidak akan dapat melaksanakan misi vital mereka jika situasi ini terus berlanjut. Kurangnya sumber daya dan akses terhadap fasilitas juga mengancam berbagai program kesehatan yang masih berjalan di tengah perang.
Tindakan militer yang dilakukan Israel dalam beberapa hari terakhir juga bertepatan dengan kunjungan Presiden AS ke beberapa negara di Teluk, menimbulkan keprihatinan lebih luas mengenai dampak geopolitik dari situasi di Gaza. Dengan total korban tewas yang telah mencapai 378 orang dan ribuan lainnya mengalami luka-luka, keprihatinan internasional terhadap kemanusiaan semakin meningkat. Kementerian Kesehatan di Gaza mencatat bahwa peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam konteks konflik yang lebih luas, di mana lebih dari 53.000 warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban sejak awal bulan Oktober.
Pada bulan November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional juga mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel dan mantan Menteri Pertahanan terkait kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Kasus genosida ini semakin menyeret fokus perhatian internasional terhadapan tindakan militer Israel di daerah kantong yang berisiko tinggi ini, di mana tragedi kemanusiaan berlangsung setiap harinya.
Konflik berkepanjangan yang terjadi di Gaza jelas menandakan bahwa perdamaian adalah kata yang jauh dari jangkauan realitas sehari-hari di wilayah tersebut. Upaya bantuan kemanusiaan dan diplomasi internasional mendesak untuk mendengarkan dan merespons kebutuhan mendesak masyarakat di Gaza.