Jakarta, dalam sebuah persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Thomas Trikasih Lembong, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi impor gula, menunjukkan sikap memahami bahwa mantan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mungkin mengalami kesulitan dalam mengingat sejumlah detail terkait peristiwa yang sudah terjadi bertahun-tahun lalu.
Selama persidangan, Lembong menyampaikan, “Saya kira sangat bisa dimaklumi karena ini peristiwa 9,5 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu. Jadi, terus terang saja, kami semua sudah kurang ingat ya.” Ini menyoroti betapa lamanya waktu yang telah berlalu sehingga mempersulit saksi untuk secara akurat mengingat setiap rincian.
Lembong juga mengapresiasi kekuatan karakter Gobel yang memilih untuk mengakui ketidaktahuannya ketimbang memberikan kesaksian yang terkesan dibuat-buat. “Saya kira dalam prosedur persidangan, memang kalau seorang saksi tidak ingat atau tidak tahu, dia sebaiknya jawab tidak ingat atau tidak tahu,” imbuhnya. Pendapat ini menunjukkan pentingnya integritas dalam sebuah proses hukum, di mana kejujuran lebih besar nilainya dibandingkan sekadar menjawab untuk menyenangkan hakim.
Tidak lama setelah itu, anggukan persetujuan dari Lembong mendapatkan tantangan dari majelis hakim. Dalam pernyataan yang tegas, hakim Alfis Setiawan mengingatkan Gobel—yang pernah memimpin kementerian tersebut selama sepuluh bulan—bahwa sangat tidak biasa bagi seorang pemimpin untuk tidak membaca laporan yang disampaikan oleh bawahannya. Saat hakim mempertanyakan Gobel mengenai laporan dari Direktorat Jenderal yang tak sempat dibaca, Gobel mengakui, “Iya, tetapi dalam surat saya mereka memberikan laporan, itu ada.” Sebuah pengakuan yang menimbulkan pertanyaan lebih lanjut dalam sidang.
Hakim selanjutnya menekankan, “Jadi, saat anda menjabat, anda tidak pernah membaca laporan itu?” Gobel, dengan nada yang tegas, menyatakan bahwa ia memang belum pernah membaca laporan tersebut hingga akhir masa jabatannya. Hal ini penjelasan menimbulkan pertanyaan akan tanggung jawab seorang pemimpin dalam memahami laporan yang ada di tangannya.
Di tengah proses tersebut, hakim pun mempertanyakan tentang Koperasi Kartika yang terlibat dalam kegiatan impor gula, namun Gobel kembali mengaku tidak ingat. Ketika hakim menyebut surat-surat yang berkaitan dengan koperasi tersebut, Gobel hanya bisa menjawab, “Saya enggak ingat itu, Pak.” Ia berusaha menjelaskan bahwa waktu yang berlalu telah membuatnya lupa, memohon maaf untuk ketidaktahuannya. Meskipun Gobel merasa penjelasannya dapat dimaklumi, hakim lebih tegas, menyatakan, “Saksi yang lain diperiksa juga, mereka masih dapat menjelaskan dengan jelas kejadian dari tahun 2014-2015, tidak seperti Anda.” Deklarasi tersebut memicu momen keheningan di ruangan sidang.
Thomas Trikasih Lembong didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp515 miliar dari total kerugian negara mencapai Rp578 miliar dalam kasus ini. Dengan penyebutan bahwa dia menyetujui impor gula tanpa melalui rapat koordinasi yang pantas dengan pihak-pihak terkait, Lembong terdigram sebagai pelanggar yang jelas, dengan dakwaan berdasarkan beberapa pasal undang-undang mengenai tindak pidana korupsi.
Kehadiran dua tokoh ini di persidangan menciptakan dinamika yang menarik. Satu pihak, Lembong dengan argumen yang menunjukkan kejujuran dan kemanusiaan, dan di sisi lain, Gobel, yang mengalami kesulitan dalam mengingat serta menjadi sorotan hakim. Kasus ini menggambarkan realitas yang sering kali terjadi di dunia hukum: pengacara, saksi, dan hakim berusaha merangkai kebenaran dari potongan-potongan memori yang tak utuh.
Perkembangan lebih lanjut dari sidang ini tentunya akan menyajikan lebih banyak informasi mengenai dampak yang ditimbulkan atas tindakan kedua tokoh tersebut, terutama dalam konteks hukum dan sosial di Indonesia. Hal ini sangat penting tidak hanya untuk penegakan hukum, tetapi juga untuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik di masa yang akan datang.