Presiden Vladimir Putin telah memecat Kepala Angkatan Darat Rusia, Jenderal Oleg Salyukov, pada 15 Mei. Pemecatan ini menambah daftar panjang pemecatan terhadap pejabat militer tinggi di tengah situasi invasi Rusia ke Ukraina yang terus berlanjut. Keputusan ini menunjukkan betapa dinamis dan tidak stabilnya struktur komando militer Rusia dalam menghadapi tantangan saat ini.
Pada saat pemecatannya, Salyukov akan diangkat menjadi wakil dari mantan Menteri Pertahanan, Sergei Shoigu, yang kini berfungsi sebagai Sekretaris Dewan Keamanan Rusia. Kabar ini disampaikan melalui dekret resmi dari Kremlin, menandakan adanya perubahan signifikan dalam kepemimpinan militer negara tersebut.
Kendati baru-baru ini Salyukov memimpin parade besar untuk merayakan Hari Kemenangan di Lapangan Merah, situasi di lapangan semakin memanas. Parade tersebut dipimpin bersama Menteri Pertahanan Rusia saat ini, Andrey Belousov, dan dimaksudkan untuk memperingati 80 tahun kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Dalam satu tahun terakhir, banyak pejabat militer dan sektor pertahanan di Rusia telah menghadapi tuduhan hukum, di mana sejumlah dari mereka dituduh menyalahgunakan dana dari proyek-proyek penting untuk kepentingan pribadi. Ini menunjukkan adanya kebocoran sistemik dalam manajemen anggaran pertahanan yang seharusnya lebih transparan dan akuntabel.
Shoigu, yang merupakan sekutu dekat Putin, sebelumnya dicopot dari jabatan Menteri Pertahanan pada tahun 2024. Masyarakat mulai meragukan integritas dan efektivitas kepemimpinannya, terutama setelah menjabat berbagai posisi strategis sejak awal 1990-an. Sementara itu, Salyukov yang menjabat sebagai Kepala Angkatan Darat sejak 2014 telah berperan aktif dalam berbagai konflik seperti perang saudara di Suriah dan invasi ke Ukraina.
Kremlin menolak anggapan bahwa pemecatan dan tangkapan pejabat-pejabat militer adalah cerminan dari upaya pembersihan internal pasca kemunduran pasukan Rusia di Ukraina. Namun, keputusan untuk melakukan perubahan di tingkat pemimpin angkatan bersenjata dapat menjadi langkah untuk menyegarkan strategi dan pola pikir yang menghadapi tantangan yang ada.
Dengan keberlanjutan invasi Rusia ke Ukraina, diskusi tentang perundingan damai semakin mendesak. Kedua negara dijadwalkan untuk memulai negosiasi yang dimediasi oleh Turki pada 16 Mei. Kegiatan ini menandai pembicaraan langsung pertama antara Kyiv dan Moskow sejak konflik dimulai pada Februari 2022.
Pernyataan dari Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menunjukkan keinginan untuk melakukan dialog. Dia bahkan menantang Putin untuk hadir dalam pertemuan tersebut. Penolakan Putin untuk hadir akan dianggap menunjukkan bahwa dia tidak berniat mengakhiri konflik yang telah memakan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Sementara itu, Putin diyakini akan mengirimkan delegasi untuk perundingan di Istanbul, tanpa kehadiran dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa perundingan damai masih dalam tahap awal dan memerlukan upaya diplomatik yang lebih luas untuk mendatangkan hasil yang memuaskan bagi semua pihak.
Mengingat tensi yang masih tinggi, dan angka korban yang terus meningkat, harapan untuk menemukan solusi damai menjadi semakin mendesak. Keterbukaan kedua belah pihak dalam melakukan perundingan akan sangat menentukan masa depan keamanan di kawasan tersebut.