Dalam dunia industri otomotif Asia Tenggara, Malaysia sedang mencuri perhatian dengan pencapaiannya di pasar penjualan kendaraan. Di tahun 2024, negara ini berhasil menempati posisi kedua di kawasan tersebut dalam penjualan kendaraan roda empat, menantang posisi Thailand yang sebelumnya lebih kuat. Sementara itu, Indonesia masih bertahan di posisi teratas, namun pertanyaannya adalah, apa yang membuat Malaysia begitu kompetitif?
Data penjualan mobil yang dikeluarkan oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa pada tahun ini, Malaysia berhasil menjual 816.747 unit mobil. Angka ini cukup dekat dengan penjualan mobil Indonesia yang mencapai 865.723 unit. Selain itu, Thailand berada di peringkat ketiga dengan penjualan hanya 562.954 unit, menunjukkan adanya pergeseran yang signifikan di pasar regional.
Inilah Penyebab Kenaikan Penjualan Kendaraan di Malaysia Selama 2024
Peningkatan penjualan kendaraan ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan insentif pemerintah yang masih berlaku di Malaysia. Insentif ini ditujukan untuk merangsang pasar, terutama selama masa pemulihan pasca-pandemi. Dengan kebijakan ini, banyak konsumen merasa lebih terbantu dalam membeli kendaraan baru.
Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gaikindo, menyoroti angka penjualan Malaysia yang membuat banyak pihak bertanya-tanya. Mengapa dengan populasi yang jauh lebih kecil, Malaysia mampu mencapai angka penjualan yang tinggi? Menurutnya, keberadaan insentif yang belum dicabut sejak pandemi COVID-19 merupakan kunci utama. Hal ini menunjukkan perlunya strategi serupa di negara lain untuk mendukung pertumbuhan pasar otomotif.
Membedah Kebijakan Pajak Mobil di Malaysia dan Indonesia yang Berbeda
Salah satu faktor penentu dalam penjualan kendaraan adalah kebijakan pajak yang diterapkan oleh masing-masing negara. Di Malaysia, pajak kepemilikan dan biaya lainnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia. Contoh nyata adalah pajak tahunan untuk kendaraan seperti Toyota Avanza; di Indonesia, pemiliknya harus membayar sekitar Rp4 juta, sedangkan di Malaysia hanya sekitar Rp385 ribu. Perbedaan ini tentunya menjadi daya tarik bagi konsumen Malaysia.
Selain itu, tidak adanya biaya perpanjangan STNK yang dikenakan setiap lima tahun di Malaysia menjadi salah satu faktor yang mendorong orang untuk membeli mobil baru. Ini berbeda dengan Indonesia yang masih membebankan berbagai biaya tambahan, termasuk Bea Balik Nama (BBN) yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, mengevaluasi kembali kebijakan pajak di Indonesia bisa menjadi langkah bijak untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Peningkatan penjualan kendaraan di Malaysia merupakan indikasi bahwa kebijakan yang menguntungkan konsumen mampu mendongkrak pasar. Negara lain, termasuk Indonesia, kiranya perlu memikirkan strategi yang lebih baik dalam menarik minat masyarakat untuk berinvestasi di kendaraan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin kita akan melihat pergeseran lebih lanjut dalam peta industri otomotif Asia Tenggara ke depannya.