Pada bulan Mei, sebuah inovasi baru dalam dunia otomotif hadir dengan diluncurkannya mobil listrik e:N1. Mobil ini merupakan langkah terbaru dari industri mobil di Malaysia yang berfokus pada keberlanjutan dan teknologi ramah lingkungan.
Dengan harga awal 149.900 ringgit atau sekitar Rp572,9 juta, e:N1 yang diimpor langsung dari China ini menawarkan lebih dari sekadar sekadar kendaraan. Pertanyaan pun muncul: seberapa besar dampak peluncuran ini terhadap pasar mobil listrik di kawasan ini?
Langkah Strategis Peluncuran Mobil Listrik
Peluncuran e:N1 di Malaysia adalah contoh nyata dari adaptasi industri terhadap permintaan yang semakin tinggi untuk kendaraan ramah lingkungan. Honda Malaysia menargetkan untuk menghabiskan semua stok unit impor, yang diperkirakan mencapai 500 unit sebelum akhir tahun, seiring dengan berakhirnya insentif pajak dan bea masuk untuk mobil listrik. Ini menunjukkan komitmen mereka dalam menyediakan produk yang sesuai dengan regulasi dan harapan konsumen.
Menariknya, sebelum peluncuran resmi, Honda sudah menerima pesanan untuk sekitar 200 unit. Ini mengindikasikan bahwa ada minat yang substansial dari masyarakat terhadap kendaraan listrik. Strategi penjualan ini tidak hanya menggambarkan pemahaman mendalam akan perilaku konsumen, tetapi juga menunjukkan kesiapan Honda untuk memenuhi tuntutan pasar.
Pandangan Jangka Panjang dan Kemandirian Produksi
Salah satu langkah kunci selanjutnya adalah memproduksi e:N1 secara lokal melalui skema CKD (Completely Knocked Down). Namun, hal ini tergantung pada dukungan pemerintah dalam memperpanjang periode insentif produksi. Saat ini, insentif pajak untuk kendaraan listrik diperkirakan akan berakhir pada tahun 2027, yang dapat memengaruhi biaya produksi dan harga jual ke konsumen.
COO Honda Malaysia, Sarly Adle Sarkum, menegaskan pentingnya dukungan ini untuk menciptakan ekosistem yang sehat bagi industri kendaraan listrik. Jika produsen tidak diberikan waktu yang cukup untuk mengembalikan investasi mereka, hal ini dapat menghambat perkembangan sektor otomotif di Malaysia. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk memperpanjang insentif pajak, setidaknya hingga lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Di sisi lain, Honda di Indonesia mengambil pendekatan berbeda dengan menawarkan mobil listrik e:N1 melalui sistem sewa seharga Rp22 juta per bulan. Metode ini didukung oleh survei dan studi konsumen yang menunjukkan bahwa banyak orang mulai beralih ke skema sewa kendaraan demi fleksibilitas dan biaya yang terjangkau. Total biaya untuk menguasai e:N1 di Indonesia diperkirakan mencapai Rp1,32 miliar selama lima tahun, belum termasuk biaya operasional lainnya.
Pilihan strategis ini menunjukkan bagaimana produsen mobil harus beradaptasi dengan preferensi konsumen yang berubah-ubah, terutama dalam segmen B2B yang saat ini menjadi fokus dari Honda Prospect Motor.
Dengan peluncuran e:N1 dan strategi yang berbeda di masing-masing negara, terlihat jelas bahwa industri mobil listrik sedang bergerak maju ke arah yang positif. Dukungan regulasi, bersama dengan inovasi produk dan strategi penjualan yang cerdas, akan memainkan peran penting dalam meningkatkan adopsi kendaraan listrik di kawasan ini.