www.beritacepat.id – Sejarah Indonesia dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang menggugah kesadaran akan perjuangan rakyatnya. Salah satu momen tragis namun menonjol adalah invasi Inggris ke Yogyakarta pada awal abad ke-19, sebuah kejadian yang dikenal sebagai Geger Sepehi atau Sepoy.
Pada bulan Juni 1812, pasukan Inggris melakukan penyerbuan ke Keraton Yogyakarta dengan kedok misi tertentu. Penyerbuan ini bukan hanya sebuah serangan militer, tetapi juga merupakan upaya untuk merampok harta kekayaan yang tersimpan di dalam keraton.
Peristiwa ini menggambarkan bagaimana kekuatan kolonial melakukan tindakan yang tidak hanya merusak fisik, tetapi juga menghancurkan martabat suatu bangsa. Penyerangan yang dilakukan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles terhadap Keraton Yogyakarta menciptakan jejak sejarah yang kelam.
Ketika keraton diserang, pasukan Inggris disambut dengan perlawanan, meskipun tidak sebanding dengan kekuatan mereka. Selama dua hari, bentrokan pecah di luar Benteng Baluwerti, memperlihatkan pertarungan yang berdarah.
Geger Sepehi: Penyerangan yang Mengubah Sejarah Yogyakarta
Peristiwa Geger Sepehi terjadi pada 19-20 Juni 1812, ketika pasukan Inggris berjumlah 1.200 orang menyerang Keraton Yogyakarta. Mereka memiliki strategi untuk menguasai wilayah Jawa dan memanfaatkan keraguan yang ada di dalam keraton sendiri.
Geger ini berawal dari kegagalan diplomasi, yang menjadikan perang sebagai satu-satunya pilihan bagi Inggris. Malam hari serangan dimulai, dengan meriam yang mengguntur mengejutkan penghuni keraton.
Dalam kondisi terdesak, pasukan keraton berjuang sampai titik darah penghabisan, tetapi tidak mampu menghadapi taktik militer Inggris yang lebih canggih dan terlatih. Akibatnya, Keraton Yogyakarta pun jatuh ke tangan agresor.
Pada subuh dini hari 20 Juni, suasana keraton yang semula tenang berubah menjadi kekacauan penuh teror. Pasukan Sepehi yang dipimpin oleh perwira Inggris menjarah semua yang ada di dalam keraton tanpa ampun.
Perlakuan Kejam Terhadap Penguasa Keraton
Setelah berhasil merebut keraton, perlakuan yang dialami para penguasa dan keluarga keraton sangat memprihatinkan. Mereka diperlakukan layaknya penjahat, dikawal dengan senjata tajam, dan dihina di hadapan tentara.
Sejarawan Peter Carey mencatat bahwa pasukan Inggris menunjukkan kekasaran yang luar biasa dalam melaksanakan misi mereka, baik terhadap keluarga raja maupun benda-benda berharga lainnya. Para pangeran dipaksa menyerahkan keris yang berharga, simbol kehormatan mereka.
Sementara itu, Keputren dan Istana juga menjadi sasaran utama penjarahan, di mana semua barang berharga diambil tanpa ada perlawanan. Harta kekayaan yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap.
Bukan hanya perhiasan yang dicuri, tetapi juga ribuan naskah kuno yang berisi sejarah serta budaya Keraton Yogyakarta termasuk alat musik gamelan yang menjadi bagian dari identitas budaya setempat.
Kerugian yang Dialami Keraton Yogyakarta
Dalam proses penjarahan, kerugian material yang dialami Keraton Yogyakarta sangat besar. Sejumlah uang yang setara dengan 800 ribu dolar Spanyol atau sekitar 50 juta dolar AS saat ini diambil dari dalam keraton.
Penjarahan ini berlangsung selama empat hari, membuat pasukan Inggris semakin kaya raya dari hasil jarahan tersebut. Uang tersebut digunakan untuk membayar pasukan, dengan sebagian besar dikirim untuk keluarga mereka di India.
Akhirnya, sebagian besar naskah dan dokumen berharga dari keraton berhasil dibawa pergi oleh Raffles, dan sampai sekarang masih tersimpan di British Library dan British Museum. Hal ini tentunya menambah derita dan kerugian bagi warisan budaya Indonesia.
Dari kejadian ini, kita dapat melihat bagaimana kekuatan kolonial tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga berusaha menggusur identitas suatu bangsa. Geger Sepehi menjadi titik balik yang menunjukkan bahwa kolonialisme membawa dampak yang mendalam bagi sejarah dan kultur Indonesia.