Pakar politik dan masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang dari Australia, Ian Wilson, baru-baru ini membahas perbedaan antara preman dan premanisme yang tengah menjadi sorotan di Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah anggota organisasi masyarakat (ormas) terlibat dalam berbagai tindakan premanisme, seperti pemalakan, pemerasan, hingga mengganggu iklim investasi.
Menurut Ian Wilson, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman normatif yang jelas mengenai konsep preman dan premanisme. Ia mencatat bahwa kebanyakan orang bisa menjelaskan siapa yang mereka anggap sebagai preman. “Di mata publik, preman adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan mengandalkan aktivitas informal untuk bertahan hidup,” katanya dalam sebuah wawancara.
Akan tetapi, anggapan umum ini mengalami pergeseran ketika membahas istilah premanisme. Premanisme tidak hanya sekadar perilaku individual tetapi juga meliputi tindakan-tindakan seperti pemerasan dan pungutan liar, yang jelas melanggar hukum dan norma sosial. Wilson menekankan bahwa mayoritas ormas tidak terlibat dalam aktivitas premanisme, dan hanya sebagian kecil anggotanya yang melakukan tindakan tersebut.
Masalah utama, menurutnya, adalah perilaku anggota yang beroperasi dalam struktur organisasi yang memiliki pendekatan mirip militer. Ia menjelaskan bahwa di masa Orde Baru, militer mengimplementasikan sistem kewilayahan hingga tingkat kecamatan, dengan tujuan mendukung kekuasaan rezim saat itu. Dengan demikian, kekuasaan negara berinteraksi dengan ormas untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menjaga stabilitas dan keamanan.
Namun, interaksi ini sering kali menimbulkan kontradiksi. Kelompok-kelompok yang seharusnya menjaga keamanan, pada kenyataannya, terlibat dalam tindakan premanisme. “Tindakan seperti memalak dan memeras dilakukan atas nama keamanan, meskipun cara-cara tersebut justru menciptakan ketidakamanan,” ungkap Wilson. Ia merujuk pada bagaimana ormas tersebut menciptakan narasi bahwa mereka menyediakan keamanan, walaupun tindakan mereka adalah sebaliknya.
Dalam bukunya yang berjudul “Politik Jatah Preman,” Wilson menyatakan bahwa sejarah modern Indonesia mencatat bagaimana negara sering kali bergantung pada kekerasan non-negara dan preman lokal sebagai bagian dari jejaring untuk mengontrol sosial dan politik. Pada era 1980-an, istilah preman waktu itu lebih populer dikaitkan dengan perwira militer yang tidak mengenakan seragam, namun lambat laun konotasinya berubah menjadi lebih kriminal.
Demokratisasi yang terjadi di Indonesia turut berdampak pada kemunculan kelompok-kelompok preman dan komunitas jalanan, yang kini berfungsi serupa dengan sistem politik perwakilan. Hal ini memberikan kesempatan bagi mereka yang sebelumnya terpinggirkan untuk terlibat dalam dinamika politik, terutama di kalangan kaum miskin kota. Dalam konteks ini, Ian Wilson mengutip pandangan S Sassen yang menekankan pentingnya politik tingkat jalanan untuk membentuk subjek-subjek politik baru yang tidak terikat oleh sistem formal.
Di Jakarta, proses demokratisasi telah mempengaruhi lansekap kekuatan sosial dan politik, di mana kelompok preman dan milisi beradaptasi dengan perubahan situasi. Mereka sering kali menjadi penggerak di tingkat lokal, menggandeng massa untuk kepentingan politik yang lebih besar. Dengan kata lain, premanisme menjadi bagian dari dinamika strategi kekuasaan, memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua ormas terlibat dalam perilaku premanisme. Hanya segelintir kelompok yang melakukan tindakan merugikan, sehingga seharusnya kita memisahkan pemahaman kita tentang premanisme dari ormas itu sendiri. Pemahaman yang tepat akan membantu mencegah stigma yang tidak adil terhadap organisasi yang berupaya memberikan layanan kepada masyarakat.