Jakarta —
Para pengusaha yang bergerak dalam sektor penggilingan padi mengungkapkan bahwa langkah pemerintah untuk mengekspor 2.000 ton beras per bulan ke Malaysia tidak menjadi isu besar terkait volume. Kendati demikian, para pelaku industri mengingatkan bahwa estimasi surplus pangan nasional hanya dapat dipastikan setelah panen kedua yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Juli hingga Agustus 2025.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras, Sutarto Alimoeso, menjelaskan bahwa saat ini pasokan gabah di lapangan mengalami penurunan yang signifikan. Ini tercermin dari naiknya harga gabah di tingkat penggilingan, yang kini sudah melampaui Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Melihat kondisi di lapangan, harga gabah pada saat ini sudah jauh melampaui HPP. Ini mengindikasikan bahwa surplus pangan kita kemungkinan telah menurun,” ujarnya dalam sebuah pernyataan di Badan Pangan Nasional, Jakarta Selatan.
Sutarto menekankan bahwa penurunan pasokan gabah membuat penggilingan padi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan produksi yang diperlukan. Terlebih lagi, pasar beras saat ini menunjukkan karakter yang lesu, sehingga mempengaruhi dinamika perdagangan.
Estimasi yang lebih akurat mengenai stok beras diprediksi baru akan diketahui setelah masa panen kedua selesai. “Sampai akhir tahun, penting bagi kita untuk mengetahui berapa banyak stok yang tersedia. Perhitungan itu akan lebih jelas setelah Juli,” sambungnya.
Dalam konteks harga, Sutarto memperhatikan bahwa kenaikan harga gabah sudah terjadi sebagai dampak dari menurunnya produksi. “Tren ini mungkin akan berlanjut tergantung pada kondisi pasokan dan permintaan dalam beberapa bulan mendatang,” tambahnya.
Dia juga membandingkan harga beras domestik dengan harga beras di pasar global. Saat ini, harga beras Thai 5 Percent Broken Rice tercatat sekitar US$428 atau setara Rp7 juta per ton, dengan asumsi nilai tukar Rp16.414 per dolar AS. “Ini menunjukkan bahwa harga beras kita masih jauh lebih tinggi dibandingkan harga di pasar internasional,” ungkapnya.
Mengenai volume ekspor 2.000 ton, Sutarto menilai jumlah tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan total kebutuhan beras nasional yang mencapai sekitar 30 juta ton per tahun. Namun, penting untuk menentukan jenis beras yang akan diekspor. “2.000 ton itu sebenarnya sedikit, mengingat kebutuhan kita yang jauh lebih besar. Masalahnya adalah jenis beras apa yang akan diekspor,” terangnya.
Ia juga menyarankan agar keputusan tentang waktu ekspor diambil hanya setelah stok pasca panen kedua dapat dipastikan. “Seharusnya demikian. Persaingan di pasar global sangat ketat. Indonesia dikenal sebagai pasar beras, tetapi di tengah situasi ini, kita justru menyatakan tidak akan mengimpor,” lanjutnya.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian menyatakan rencana untuk mengekspor beras ke Malaysia sebanyak 2.000 ton per bulan, sebagai respons atas arahan dari pemerintah. Wakil Menteri Pertanian menyatakan bahwa persiapan ekspor sedang dilakukan dan pihaknya telah berkomunikasi dengan calon importir dari Malaysia. “Kami sedang merencanakan ekspor beras sekitar 2.000 ton per bulan, karena Malaysia juga memiliki banyak sumber impor beras,” ungkapnya.