Jakarta —
Saya ingin langsung ke poin inti, Film Pembantaian Dukun Santet meninggalkan kesan yang mengecewakan, terutama dalam cara cerita disampaikan dan konteks budaya yang diangkat.
Dalam hal penuturan cerita, naskah film ini terasa berantakan. Alur cerita tidak mengalir dengan baik, fokus ceritanya terpecah, dan pesan yang ingin disampaikan menjadi samar di mata penonton.
Penulis cerita, Aura Gemintang, Baskoro Adi Wuryanto, dan JeroPoint, tampaknya mengalami kesulitan dalam mengembangkan kisah horor yang berlatar belakang sejarah kelam Banyuwangi pada tahun 1998. Mereka terlihat bingung tentang bagaimana memulai elemen horor, menyusun logika cerita, dan menghubungkan berbagai konflik yang ada.
Solusi termudah yang diambil oleh tim kreatif adalah menambah jumlah elemen jumpscare, meskipun hasilnya tampak tumpul dan tidak efektif.
Selama satu setengah jam film, saya merasa inti cerita sendiri hanya ada di sebagian kecil durasi. Itu pun tersebar tidak teratur sepanjang film, sehingga penonton terpaksa terus bertanya: “apa yang sebenarnya terjadi?” alih-alih fokus pada “apa yang akan terjadi selanjutnya?”.
Setengah dari film ini terasa melelahkan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Setelah melewati banyak konflik dan hambatan, inti cerita akhirnya terungkap, tetapi tidak dengan cara yang mengejutkan. Ada elemen plot twist yang tampaknya sudah bisa ditebak sejak awal, meninggalkan penonton dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Penyutradaraan oleh Azhar Kinoi Lubis pun tidak banyak membantu. Naskah yang lemah tidak diperkuat dengan arahan yang jelas, membuat cerita terasa hambar. Fokus Kinoi lebih pada aspek visual daripada alur cerita, meskipun tim produksi dan lokasi syuting memiliki potensi yang indah.
Salah satu keputusan yang saya kritik adalah penggunaan tone warna dalam film ini. Banyak pembuat film Indonesia, khususnya di genre horor, tampaknya sangat menyukai penanganan visual yang berlebihan. Meskipun film ini berlatar tahun 1998, saya merasa tidak perlu menggunakan filter warna kuning yang berlebihan, yang justru mengurangi estetika visual film secara keseluruhan.
Interaksi dan akting para pemain juga kurang optimal. Aurora Ribero dan Kevin Ardilova, yang terdiri dari aktor talenta, tidak mampu menampilkan kemampuan terbaik mereka. Meskipun peran mereka penting, penampilan mereka terasa kurang padu dan terabaikan.
Hanya sepintas, Teuku Rifnu Wikana tampil cukup baik, tetapi performanya tidak bisa dianggap sebagai yang terbaik. Penampilannya bahkan tidak sebanding dengan usaha yang ditunjukkannya di film sebelumnya.
Terdapat juga kekecewaaan di bagian konteks budaya. Pemberian disclaimer di awal film yang menyatakan bahwa kesamaan dengan kejadian nyata adalah kebetulan terasa kontradiktif, karena film ini jelas terinspirasi oleh peristiwa faktual di Banyuwangi.
Jika film ini memang terinspirasi oleh sejarah kelam yang nyata, saya berharap para pembuat film lebih berani dan jujur dalam menyampaikan hal tersebut, tanpa menyelubungi fakta dengan penghalang yang tidak diperlukan. Menggunakan cerita dengan latar sejarah yang faktual sangat menjanjikan dan bisa menjadi refleksi dari fenomena sosial, seperti satanic panic yang pernah terjadi di Indonesia.
Kisah-kisah tragis dalam riwayat sosial Indonesia layak diangkat untuk diingat dan tidak dilupakan. Pembuat film sebaiknya duduk dan mencari cara kreatif untuk meramu kisah dengan rasa fiksi, tetapi tetap mencerminkan kejadian nyata.
Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa pengisahan yang baik tidak hanya tentang eksploitasi elemen horror yang menarik, tetapi juga tentang penghargaan terhadap realitas yang melatarbelakangi cerita. Penonton semakin kritis dan dapat membedakan antara film yang berkualitas dan yang hanya berorientasi pada profit.