Medan – Dalam serangkaian acara penutupan Muktamar ke-15 Persatuan Umat Islam di Sumatra Utara, Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka memberikan pandangannya mengenai penanganan anak-anak nakal di daerah tersebut. Ia mengusulkan agar Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, mempertimbangkan penerapan pendidikan yang sama seperti yang diterapkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, namun dengan pendekatan yang lebih islami, yakni melalui pondok pesantren.
Seperti yang kita ketahui, kebijakan Dedi Mulyadi yang mengirim anak-anak nakal ke barak militer dan kepolisian telah menuai beragam reaksi. Banyak pihak menilai langkah tersebut kontroversial dan tidak sepenuhnya efektif dalam menangani kenakalan remaja. Dalam konteks ini, Gibran merekomendasikan alternatif yang lebih sesuai dengan nilai-nilai keagamaan di Indonesia, yaitu menempatkan anak-anak tersebut di pondok pesantren. Hal ini dianggap bisa memberikan pendidikan moral dan spiritual yang lebih mendalam.
Gibran menyampaikan usul ini sebagai respons terhadap pernyataan Bobby mengenai tingginya angka penyalahgunaan narkoba di Sumatra Utara. Dalam kesempatan tersebut, Bobby mengungkapkan keprihatinannya bahwa provinsinya masih menduduki posisi teratas dalam penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Dengan rasa urgensi, Bobby menjelaskan betapa pentingnya kolaborasi antara pemerintah, aparat, dan organisasi sosial untuk melawan masalah ini secara serentak.
“Kami masih menjadi provinsi nomor satu dalam penyalahgunaan narkoba. Tantangan kami berbeda dengan daerah lain, dan kami berharap PUI dapat mengambil peran aktif dalam memerangi narkoba di Sumut,” tegas Bobby. Dalam menghadapi masalah ini, ia menyerukan dukungan dari berbagai pihak termasuk organisasi keagamaan, yang dapat membantu menyebarluaskan kesadaran dan pendidikan anti-narkoba di masyarakat.
Keberadaan angka penyalahgunaan narkoba yang tinggi tentunya menggambarkan realitas yang harus ditangani dengan serius. Di satu sisi, pendidikan di lingkungan militer bisa jadi dianggap efektif dalam membentuk disiplin dan karakter, namun di sisi lain, pendekatan tersebut bisa memicu protes dari kalangan aktivis yang menilai bahwa penanganan anak-anak nakal memerlukan metode yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan. Metode pendidikan di pondok pesantren yang diusulkan Gibran diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih holistik. Dengan pemahaman agama yang kuat, diharapkan anak-anak ini tidak hanya menghindari kebiasaan buruk, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai positif dalam diri mereka.
Perdebatan tentang pendekatan mana yang lebih tepat dalam menangani anak nakal tentu akan terus berlanjut. Beberapa pihak mendukung pencarian solusi dari cara-cara yang lebih kreatif dan inovatif, termasuk menciptakan program-program rehabilitasi yang menyentuh langsung ke akar masalah, bukan hanya menghukum perilaku buruk yang tampak di permukaan.
Dalam era di mana kebijakan publik sering kali terfokus pada tindakan cepat dan instan, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan yang diterapkan. Jalan menuju pemulihan anak-anak nakal yang terjerumus dalam dunia gelap narkoba dan kenakalan tidak bisa ditempuh dengan cara-cara yang hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, pendekatan yang humanis dan komprehensif akan jauh lebih efektif.
Dengan bekerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan, harapan untuk mengurangi angka penyalahgunaan narkoba dan mengarahkan anak-anak nakal ke jalan yang lebih baik dapat terwujud. Keterlibatan semua pihak dalam membangun generasi yang lebih sehat dan berkarakter adalah langkah optimal untuk mengubah situasi ini demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa.